“Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak. Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.”
(QS Al-Kautsar (108):1-2).
Setiap 10 Dzulhijah umat muslim seluruh dunia merayakan hari raya Idul Adha, bermula dari kisah keikhlasan Nabi Ibrahim AS melaksanakan perintah Allah SWT, sampai saat ini perayaan ini pun merupakan simbolisasi keikhlasan, tepo seliro, memberikan makan protein dari daging sapi, kambing atau kerbau kepada sesamanya. Di Kudus, perayaan Idul Adha penuh dengan toleransi, bermula dari sebuah kebijakan Sunan Kudus yang menyembelih kerbau sebagai ganti sapi untuk menghormati umat Hindu pada saat itu. Idul Adha juga seringkali dimaknai lebaran haji, lebarannya orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Wuquf yang merupakan salah satu syarat utama haji dilaksanakan di Padang Arafah, berdiam diri, meninggalkan aktifitas dunia seperti kala Nabi Ibrahim menerima wahyu dari Allah SWT untuk mengorbankan Nabi Ismail, anak yang begitu lama beliau nanti-nanti kelahirannya.
Keteladanan Nabi Ibrahim AS yang berani mengorbankan sesuatu yang amat sangat dicintainya dan Nabi Ismail yang mengikhlaskan dirinya demi sebuah perintah dari Allah SWT menjadi semangat bangsa Indonesia untuk menghadapi gelombang permasalahan Negara yang kita cintai ini. Ya, semangat berkorban untuk saling tolong menolong, bantu membantu di masa-masa sulit seperti ini. Banyak anak menjadi yatim piatu, banyak orang tua kehilangan anaknya, banyak yang menjadi sebatang kara, banyak juga keluarga yang berifikir keras, besuk makan apa? Sampai dititik ini, saya selalu teringat dengan surat hafalan anak saya yang berumur 7 tahun.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS Al-Insyiroh (94): 5-6).
Sujiwo Tejo, dalam sebuah kelakar ceramahnya, seringkali mengingatkan manusia bahwa dengan khawatir besuk makan apa sama saja menghina Tuhanmu. Dalam konteks rizki iya, namun dalam konteks tolong menolong dan memanusiakan manusia pola pikir ini lebih baik kita maknai besuk dia makan apa?, sehingga mampu menggugah suasana hati kita untuk saling bantu menghidupi. Alangkah indahnya ketika pegawai pemerintah yang berstatus PNS dan pejabat negara pada situasi saat ini selalu membeli dengan uang lebih kepada setiap warga yang berjuang mengais rizki melalui dagangannya. Belilah, jangan hanya karena butuh, tapi lebih dari itu, dengan membeli mungkin saja kita bisa menghidupi satu keluarga.
BEKERJA UNTUK BERKURBAN
Berqurban adalah salah satu ibadah sunnah, sedangkan bekerja dalam Islam hukumnya wajib. Maka ketika melaksanakan kewajiban, dianggaplah melaksanakan sebuah Ibadah. Sebagaimana kewajiban umat Islam untuk sholat dan puasa, bekerja pun juga harus memenuhi syarat khusyu’, atau bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya. Hak saya sebagai pegawai pemerintah sudah dipenuhi, meskipun kadang tidak cukup gegara gaya dan tingkah polah hidup saya. Kalau berhitung, gaji minimal 6 (enam) juta rupiah per bulan, maka hitungan gaji harian lebih dari 200 (dua ratus) ribu rupiah. Fantastis untuk ukuran hidup di Indonesia. Belum lagi andai dikaitkan dengan keberuntungan saya menjadi pegawai pemerintah, tentu jelas ini bukan perjuangan, melainkan anugerah.
Perayaan Idul Qurban ini menjadi refleksi bagi setiap jati diri, untuk bekerja dalam ikhlas, bekerja dalam tindakan dan menjauhi politik identitas dengan menjelek-jelekkan sesama. Memperalat justifikasi terhadap regulasi untuk menghambat bahkan menjatuhkan. Menumbuhkan optimisme dan membuang jauh sifat-sifat demagog, sifat politik adu domba. Pemilu tidak hanya soal menang kalah, namun soal memanusiakan manusia melalui implementasi visi misi. Demokrasi tidak hanya soal kompetisi, namun soal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Demokrasi tidak hanya soal konstitusi, namun juga soal prospek dan proyeksi kemajuan suatu wilayah. Majulah tanpa menyingkirkan orang lain, naiklah tanpa merendahkan orang lain, dan larilah tanpa merintangi orang lain. Maka ketika kita mengemban amanah tanggung jawab, kita tau apa yang harus kita lakukan. Negara telah menghidupi kita melalui Lembaga, maka pertanyaannya kapan kita menghidupi negara melalui Lembaga? Tidak semestinya kita hanya menjadi parasit, saatnya berqurban dengan berkorban untuk Indonesia, bekerja penuh waktu, berfikir out of the box, dan berorientasi capaian riil hingga pada akhirnya dapat dimaknai sebagai sebuah Jihad Fisabilillah.
Wallahu ‘alam bishowab.
Nursahid Agung Wijaya
Kepala Subbagian Keuangan, Umum dan Logistik
KPU Kabupaten Wonogiri