Genderang Pemilu sayup-sayup telah terdengar di kalangan masyarakat. Pagi tadi di warung soto pinggir jalan, tempat biasa saya sarapan “soto otak”, ada bapak-bapak setengah baya bincang-bincang berkenaan dengan barengnya Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 serta “coblosan” Gubernur dan Wakil Gubernur yang bareng juga dengan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Wonogiri tahun 2024 yang akan datang. Ada yang bilang lebih seru, ada yang bilang bingung, ada yang menerka-nerka calon Presiden, ada juga yang acuh terhadap proses demokrasi ini. Ragam pembicaraan masyarakat grass root ini mengusik pikiran saya, ternyata demokrasi telah melingkupi keseharian kita.
Namun, pembicaraan tersebut belum sampai pada pembahasan hari dan tanggal pelaksanaan pemungutan suara, mengingat Pemungutan suara masih hampir 3,5 tahun lagi. Ya, 3,5 tahun lagi, waktu yang cukup lama bagi masyarakat untuk turut segera berpartisipasi, namun tidak bagi penyelenggara di tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/ Kota. Bagi kami, penyelenggara Pemilu, harus berkejaran dengan waktu, apalagi tahapan Pemilu Tahun 2024 nanti beririsan dengan tahapan pemilihan serentak tahun 2024.
Tahun 2020, Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri mencatat Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) di Kabupaten Wonogiri sebesar 69,98. Salah satu komponen dari IPM ini adalah tingkat pendidikan masyarakat. Saya meyakini bahwa erat kaitannya antara tingkat pendidikan dan pola pikir masyarakat terhadap pelaksanaan Demokrasi khususnya Pemilu dan Pemilihan. Semakin tinggi pendidikan masyarakat semakin tinggi pula tingkat kesadaran untuk menggunakan hak pilih.
Sebagai Kabupaten paling ujung timur selatan di Provinsi Jawa Tengah, dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, kepedulian masyarakat terhadap proses pelaksanaan demokrasi baik Nasional maupun lokal cukuplah tinggi. Sejak tahun 2019, tingkat Partisipasi pemilih dalam Pemilu dan Pemilihan diatas 70%. Sedikit lebih rendah dengan angka target Pemerintah yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 77,5%. Bukan tanpa sebab memang, mayoritas penduduk, memilih mengadu nasib ke luar Kota, sehingga libur satu hari yang ditetapkan sebagai hari pemungutan suara tidak membuat kaum boro beranjak dari tempat perantauan untuk kembali ke kampung halaman menggunakan hak pilihnya.
DEMOKRASI “THIWUL”
J.Kristiadi peneliti senior CSIS dalam sebuah tulisannya mengibaratkan demokrasi tiwul, demokrasi tanpa gizi. Namun pendapat saya, perumpamaan tersebut sudah tidak relevan untuk digunakan pada masa ini. Melalui inovasi, thiwul sudah menjadi makanan yang bergizi. Dalam sebuah rilis penelitian, 100 gram thiwul terdapat kandungan gizi energi 342 kkal, 2,3 gram protein dan karbohidrat 3,81 gram, ini artinya saat ini thiwul bukanlah makanan tanpa gizi. Demikian juga dengan sebuah Demokrasi yang diwujudkan dalam sebuah Pemilu/ Pemilihan, apabila dikelola dengan baik akan memberikan “gizi” yang besar dan multiplier effect yang besar juga bagi masyarakat. Pemilu/ Pemilihan selama ini menjadi satu-satunya cara masyarakat untuk turut serta menentukan arah pembangunan secara langsung di wilayahnya masing-masing.
SOSIALIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Sudah selayaknya KPU sebagai penyelenggara Pemilu menciptakan model-model sosialisasi sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Selama ini masyarakat disuguhi dengan pola-pola sosialisasi elit, bahasa moderat, dan istilah-istilah asing dalam proses Pemilu. Mantan anggota KPU, Sigit Pamungkas pernah mengclustergrand design sosialisasi menjadi 3 (tiga) tahapan yakni pre electoral period (sebelum), electoral period (sedang), dan post electoral period (setelah).
a. Thuthuk Kenthong
Masyarakat Wonogiri pada khususnya mengenal sarana komunikasi Kentongan untuk mengabarkan berita. Jauh sebelum gadget muncul, kentongan sudah digunakan masyarakat untuk memberikan informasi mengenai kejadian dalam suatu daerah. Kentongan ini pun dapat kita gunakan sebagai alat penyebar berita Pemilu/ Pemilihan yang efektif dan efisien. Misalnya, pada saat pelaksanaan pemutakhiran daftar pemilih, pemangku dusun/ Ketua RT dapat mengabarkan dimulainya pemutakhiran daftar pemilih ini menggunakan metode thuthuk kentong. Juga menjelang hari pemungutan suara, masyarakat dapat dingatkan kembali melalui thuthuk kentong agar berbondong-bondong datang ke TPS. Memang harus dilakukan secara berulang, agar masyarakat familiar terhadap metode sosialisasi ini.
b.Tabuh Lesung
Lesung yang jaman dulu digunakan untuk “nutu gabah” secara bersama-sama, saat ini sudah hampir punah keberadaannya. Filosofi dari lesung itu sendiri adalah kebersamaan, lesung tidak akan berbunyi nyaring kalau hanya dimainkan oleh satu orang, begitupun hasilnya, gabah tidak akan cepat terkelupas apabila hanya dikerjakan oleh satu orang. Dahulu, jika lesung dibunyikan dengan irama tertentu, merupakan panggilan untuk warga dalam sebuah acara hajatan. Pemilu merupakan hajatan besar bangsa Indonesia, yang membutuhkan peran serta masyarakat baik dalam proses tahapan yang sedang berjalan maupun pada saat proses pemungutan suara. Satu suara sangat menentukan nasib bangsa ini. Lesung ini dapat kita manfaatkan sebagai pengingat warga dalam setiap tahapan penting, misal digunakan sebagai “undangan” warga ke tempat pemungutan suara.
c. Kenduri Pemilu
Kenduri dalam bahasa Jawa sering disebut dengan Kondangan/ Bancakan yang juga menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat pedesaan. Mereka masih meyakini bahwa kenduri merupakan perwujudan dari rasa syukur atas rizki yang dilimpahkan selama ini. Dalam keretabasa Bancakan adalah bareng-bareng ngrencak lan dedongan (bersama berkumpul dan berdoa). Pun halnya dengan penyelenggaraan Pemilu/ Pemilihan yang juga membutuhkan do’a dari masyarakat agar aman, damai dan menghasilkan pemimpin yang barokah, maka tidak ada salahnya apabila Pemerintah Daerah memberikan kebijakan untuk mangayubagyo (menyambut) hari pemungutan suara (3 hari sebelum hari H) menghimbau untuk melaksanakan Kenduri Pemilu di masing-masing dusun, sekaligus mensosialisasikan hari, tanggal dan tempat “coblosan”.
d. TOA Masjid
Tempati badah yang biasa digunakan umat Islam ini hampir di setiap RT/ RW ada, biasanya juga dilengkapi dengan pengeras suara yang digunakan untuk adzan begitu masuk waktu sholat. Pengeras suara ini menjadi sarana yang efektif untuk digunakan sebagai tempat pengumuman. Dengan tetap menghormati tempat ibadah, dan dilakukan oleh pengurus masjid, ajakan untuk menggunakan hak pilih akan lebih efektif. Tentunya dilaksanakan secara massive dan berulang.
Pola sosialisasi diatas hanya sekelumit cara, masih banyak kearifan-kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai pendongkrak partisipasi masyarakat. Sehebat apapun penyelenggara, tanpa ada peran serta masyarakat, tidak akan ada artinya perhelatan besar Pemilu di Indonesia. Pola segmented yang hanya tertuju pada pemilih pemula harus kita ubah, semua memiliki hak yang sama dalam hal pengetahuan tentang Pemilu. Kita lupa bahwa di desa-desa masih banyak masyarakat yang belum tahu apa arti sebuah Pemilu/ Pemilihan, bahwa Pemilu/ Pemilihan yang sebenarnya adalah penentuan arah pembangunan di wilayahnya masing-masing. Model-model sosialisasi seperti diatas diharapakan dapat menimbulkan coattails effectantara pelestarian budaya lokal dengan peningkatan partisipasi masyarakat,seyogyanya demokrasi yang cenderung pada keterbukaan tidak menggerus budaya-budaya baik yang selama di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Nursahid Agung Wijaya
Kepala Subbagian Keuangan, Umum dan Logistik
Bakohumas Bidang Content KPU Kabupaten Wonogiri